Tenggelamnja Kapal Van der Wijck (
EYD:
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck) adalah sebuah novel yang ditulis oleh
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama Hamka. Novel ini mengisahkan persoalan
adat yang berlaku di Minangkabau dan perbedaan latar belakang sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian.
Novel ini pertama kali ditulis oleh Hamka sebagai cerita bersambung dalam sebuah majalah yang dipimpinnya,
Pedoman Masyarakat pada tahun 1938. Dalam novel ini, Hamka mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu terutama mengenai kawin paksa. Kritikus sastra Indonesia
Bakri Siregar menyebut
Van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka, meskipun pada tahun 1962 novel ini dituding sebagai plagiasi dari karya
Jean-Baptiste Alphonse Karr berjudul
Sous les Tilleuls (1832).
Diterbitkan sebagai novel pada tahun 1939,
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck terus mengalami cetak ulang sampai saat sekarang. Novel ini juga diterbitkan dalam
bahasa Melayu sejak tahun 1963 dan telah menjadi bahan bacaan wajib bagi siswa sekolah di
Indonesia dan
Malaysia.
Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau lebih dikenal dengan singkatan Hamka, adalah ulama asal
Minangkabau yang dibesarkan dalam kalangan keluarga yang taat beragama. Ia memandang tradisi yang ada dalam masyarakat di sekitarnya sebagai penghambat kemajuan agama, sebagaimana pandangan ayahnya,
Abdul Karim Amrullah. Setelah melakukan perjalanan ke
Jawa dan
Mekkah sejak berusia 16 tahun untuk menimba ilmu, ia bekerja sebagai guru agama di
Deli,
Sumatera Utara, lalu di
Makassar,
Sulawesi Selatan. Dalam perjalanan ini, terutama saat di
Timur Tengah, Hamka banyak membaca karya dari ahli dan penulis Islam, termasuk karya penulis asal Mesir
Mustafa Lutfi al-Manfaluti hingga karya sastrawan Eropa yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Pada tahun 1935, Hamka meninggalkan Makassar untuk pergi ke
Medan. Di kota itu, ia menerima permintaan untuk menjadi pemimpin redaksi majalah
Pedoman Masjarakat, yang dalam majalah ini untuk pertama kalinya nama pena Hamka diperkenalkan. Di sela-sela kesibukannya, Hamka menulis
Van der Wijck; karya yang diilhami sebagian dari tenggelamnya suatu kapal pada tahun 1936.
Perdebatan mengenai harta warisan antara Pendekar Sutan dengan mamaknya berujung pada kematian. Akibat membunuh mamaknya, Pendekar Sutan diasingkan dari
Batipuh ke
Cilacapselama dua belas tahun. Setelah bebas, Pendekar Sutan memilih menetap di
Makassar dan menikah dengan Daeng Habibah. Akan tetapi, setelah memperoleh seorang anak bernama Zainuddin, Daeng Habibah meninggal dan, tak lama setelah itu, Zainuddin menjadi yatim piatu.
Ketika beranjak remaja, Zainuddin meminta izin kepada pengasuhnya, Mak Base untuk berangkat ke
Minangkabau; ia telah lama ingin menjumpai tanah asal ayahnya di Batipuh. Namun, kedatangan Zainuddin tidak mendapatkan sambutan baik di tengah-tengah struktur masyarakat yang
bernasabkan kepada ibu itu. Ia dianggap tidak memiliki pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau karena, meskipun berayah Minang, ibunya berasal dari
Bugis. Akibatnya, ia merasa terasing dan melalui surat-surat ia kerap mencurahkan kesedihannya kepada Hayati, perempuan keturunan bangsawan Minang yang prihatin terhadapnya.
Setelah Zainuddin dan Hayati sama-sama mulai jatuh cinta, Zainuddin memutuskan pindah ke
Padang Panjang karena mamak Hayati memintanya untuk keluar dari Batipuh. Sebelum berpisah, Hayati sempat berjanji kepada Zainuddin untuk selalu setia. Sewaktu Hayati berkunjung ke Padang Panjang karena hendak menjumpai Zainuddin, Hayati sempat menginap di rumah sahabatnya, Khadijah. Namun, sekembali dari Padang Panjang, Hayati dihadapkan oleh permintaan keluarganya yang telah sepakat untuk menerima pinangan Azis, kakak Khadijah; Aziz, yang murni keturunan Minang dan berasal dari keluarga terpandang, lebih disukai keluarga Hayati daripada Zainuddin. Meskipun masih mencintai Zainuddin, Hayati akhirnya terpaksa menerima dinikahkan dengan Aziz.
Mengetahui Hayati telah menikah dan mengkhianati janjinya, Zainuddin yang sempat berputus asa pergi ke
Jawa bersama temannya Muluk, tinggal pertama kali di
Batavia sebelum akhirnya pindah ke
Surabaya. Di perantauan, Zainuddin menjadi penulis yang terkenal. Pada saat yang sama, Aziz juga pindah ke Surabaya bersama Hayati karena alasan pekerjaan, tetapi rumah tangga mereka akhirnya menjadi berantakan. Setelah Aziz dipecat, mereka menumpang ke rumah Zainuddin, tetapi Aziz lalu bunuh diri dan dalam sepucuk surat ia berpesan agar Zainuddin menjaga Hayati. Namun, Zainuddin tidak memaafkan kesalahan Hayati. Hayati akhirnya disuruh pulang ke Batipuh dengan menaiki kapal
Van der Wijck. Di tengah-tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Hayati tenggelam, dan setelah Zainuddin mendengar berita itu ia langsung menuju sebuah rumah sakit di
Tuban. Sebelum kapal tenggelam, Muluk yang menyesali sikap Zainuddin memberi tahu Zainuddin bahwa Hayati sebetulnya masih mencintainya. Namun tak lama setelah Zainuddin datang, Hayati meninggal. Sepeninggal Hayati, Zainuddin menjadi sakit-sakitan sampai akhirnya meninggal. Jasadnya dimakamkan di dekat pusara Hayati.
Seperti novel Hamka sebelumnya,
Di Bawah Lindungan Ka'bah,
Van der Wijck ditulis untuk mengkritik beberapa tradisi dalam adat Minang yang berlaku saat itu, seperti perlakuan terhadap orang berketurunan blasteran dan peran perempuan dalam masyarakat; hal ini dimunculkan dengan usaha Hayati menjadi istri yang sempurna biarpun Aziz tidak menghargainya. Hamka beranggapan bahwa beberapa tradisi adat tersebut tidak sesuai dengan dasar-dasar Islam ataupun akal budi yang sehat. Dalam karyanya yang lain, Hamka terus mengkritik adat.
Van der Wijck pertama kali diterbitkan sebagai cerita bersambung dalam majalah Islam mingguan Hamka di
Medan,
Pedoman Masjarakat pada tahun 1938. Menurut Yunan Nasution, salah satu karyawan majalah tersebut, ketika majalah itu dikirimkan ke
Kutaraja,
Aceh (kini Banda Aceh), banyak pembaca yang telah menunggu di stasiun kereta api agar bisa membaca bab berikutnya secepat mungkin. Hamka juga menerima surat dari beberapa pembaca, yang beranggapan bahwa novel itu mencerminkan kehidupan mereka. Namun, beberapa orang Muslim konservatif menolak
Van der Wijck; mereka menyatakan bahwa seorang
ulama harusnya tidak mengarang cerita tentang percintaan.
Setelah mendapat sambutan yang hangat itu, Hamka memutuskan untuk menerbitkan
Van der Wijck sebagai novel dengan usaha penerbitan milik temannya, M. Syarkawi; dengan menggunakan penerbit swasta Hamka tidak dikenakan sensor seperti yang berlaku di
Balai Pustaka. Cetakan kedua juga dengan penerbit Syarkawi. Lima cetakan berikutnya, mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka. Cetakan kedelapan pada tahun 1961, diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di
Jakarta; hingga tahun 1962, novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu eksemplar. Cetakan setelah itu kemudian diterbitkan oleh Bulan Bintang. Novel Hamka ini juga pernah diterbitkan di
Malaysia beberapa kali.
Kritikus sastra Indonesia beraliran sosialis,
Bakri Siregar menyebut
Van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka. Kritikus lain,
Maman S. Mahayana, berpendapat bahwa novel ini mempunyai karakterisasi yang baik dan penuh ketegangan; Maman beranggapan bahwa ini mungkin karena novel ini awalnya diterbitkan sebagai cerita bersambug.
Pada bulan September 1962, Abdullan S.P.—nama samaran dari
Pramoedya Ananta Toer—yang memuat tulisannya ke dalam koran
Bintang Timur menyebutkan bahwa novel
Van der Wijckdiplagiasi dari
Sous les Tilleuls (1832) karya
Jean-Baptiste Alphonse Karr, melalui terjemahan ber
bahasa Arab oleh Mustafa Lutfi al-Manfaluti; sebenarnya desas-desus plagiasi sudah lama ada.
[13] Hal ini menjadi polemik luas dalam
pers Indonesia. Sebagian besar orang yang menuduh Hamka berasal dari
Lekra, sebuah organisasi sastra sayap kiri yang berafiliasi dengan
PKI.
[a]Sementara itu, penulis di luar sayap kiri melindungi Hamka.
[13] Beberapa kritikus menemukakan beberapa kesamaan antara dua buku tersebut, baik dari segi alur maupun teknik penceritaan.
Ahli dokumentasi sastra
H.B. Jassin, yang membandingkan kedua karya itu dengan menggunakan terjemahan
Sous les Tilleuls berbahasa Indonesia yang diberi judul
Magdalena, menulis bahwa novel ini tidaklah mungkin hasil plagiasi, sebab cara Hamka mendeskripsikan tempat itu sangat mendalam dan sesuai dengan gaya bahasanya dalam tulisan sebelumnya. Jassin juga menegaskan bahwa novel
Van der Wijck membahas masalah
adat Minang, yang tidak mungkin ditemukan dalam suatu karya sastra luar. Akan tetapi, Bakri Siregar beranggapan bahwa terdapat banyak kesamaan antara Zainuddin dan Steve, serta Hayati dan Magdalena, yang menandai adanya plagiasi. Kritikus sastra asal Belanda,
A. Teeuw menyatakan bahwa tanpa berpendapat kalau kesamaan yang terkandung dalam novel itu dilakukan secara sadar, memang terdapat banyak hal yang mirip di antara kedua karya itu, tetapi
Van der Wijck sesungguhnya mempunyai tema yang murni dari Indonesia.
- ^ Lekra banyak menentang agama. Oleh sebab itu, Hamka, yang merupakan ulama, dianggap sebagai salah satu target penting.[13]
- Catatan kaki